Saturday 2 September 2017

Nomaden

        Hai selamat malam para penggiat dunia hiburan malam yang jam segini masih asik-asiknya joget. Walau duit pas-pas an tapi have fun nomer satu ya, karena YOLO. You Only Live Once. Tapi apa iya have fun cuma bisa didapetin dari clubbing doang? Hmm, mikir lah.

       Ini adalah bulan ke empat saya berada di kota Surabaya. Dan juga resmi menjadi bulan ke-empat dimana saya nggak menginjakkan kaki ke tempat hiburan malam. Ya nyoba have fun dengan cara lain aja sih. Duh, padahal alasan sebenernya ya karena nggak ada partnernya aja sih. Hahahaha. Tapi asli lho, banyak hal yang bisa dilakukan diluar rutinitas clubbing. Contohnya...ya dengan nulis blog inilah, ini aktifitas positif tanpa mengeluarkan biaya tau. Ya walaupun nulisnya sambil dengerin Trance or dubstep juga sih.

       Tapi nggak tahu kenapa ya, setiap orang yang tahu bahwa saya pernah tinggal di Bali pasti menanyakan hal yang sama. Tentang dunia malam, tentang gay-life di sana, tentang kenakalan remaja, ya pokoknya seputar itu. Ada sih yang nanya in tentang pantai-pantainya dan bagian apa yang saya rindukan dari pulau tersebut. Nggak ada gitu yang nanya tentang budaya disana gimana, orang-orang Bali itu gimana, makanannya gimana, ya itulah ya manusia selalu lebih penasaran dengan hal-hal negatif. Makanya kalo ada gosip, wuuu, cepet banget nyebarnya kayak virus influenza.

       Oke kalo bicara apakah saya kangen Bali? Ya jelas lah. Saya pernah tinggal di beberapa kota di Indonesia, dari Samarinda, Bandung, Solo, Kediri, Probolinggo, Makassar, Semarang, dan terakhir Denpasar. Semua memiliki hal-hal yang membuat saya merasa kangen dengan kota-kota tersebut.

       Nih ya, Samarinda, saya emang nggak terlalu inget karena waktu itu saya masih Balita. Tapi saya mendapatkan lingkungan yang begitu membekas diingatan sampai sekarang. Masa balita saya bisa dikatakan bahagia. Pernah nonton Upin & Ipin dong ya, nah kurang lebih seperti itu lah lingkungan saya. Rumah saya adalah rumah panggung, dulu di bawahnya ada kolam ikan. Namun, setelah insiden terceburnya saya di kolam itu jadinya kolam itu berlaih fungsi menjadi taman.

       Kebanyakan dari anak-anak lingkungan saya tidak menonton televisi. Bukan karena belum ada listrik lho ya, tapi karena kami lebih suka berkumpul. Ya, kami bermain di luar rumah. Mulai bermain kejar-kejaran, bermain di parit/selokan, bermain robot-robotan (Baikul dan Orta) pake helm keliling kampung, sampai berkunjung kerumah sesepuh kampung dan disuguhi ubi rebus/kimpul. Dulu belakang rumah saya adalah kebun salak, namun saya tidak diperbolehkan kesana sendiri karena masih banyak binatang liar seperti ular atau kera hutan. Tapi saya ingat, kakak saya sering mengajak saya kesana untuk mengambil rambutan dan salak. Cukup berkesan bukan? Ya walaupun saya harus meninggalkan lingkungan perkampungan transmigran itu ke pulau lain di sisi selatan Indonesia, pulau Jawa. Dan kemudian saya kangen dan ingin kembali ke Samarinda.

       Ayah saya mengenyam pendidikan dinasnya di Kota Bandung. Saya dan ibu saya menyusulnya ke kota itu. Sedangkan kedua kakak saya diungsikan ke rumah nenek saya di kota Bondowoso. Bandung adalah masa kejayaan saya waktu kecil. Karena waktu itu saya masih lucu-lucunya. Ya ini serius kok, saya dulu pernah lucu dan menggemaskan. Aksi memakai daster atau rok kakak saya adalah aksi kocak pada jaman itu. Sekarang nggak lho ya, udah tobat, abis dirukyah deh kayaknya. Banyak teman ayah saya yang suka mengajak saya bermain. Saya ingat waktu itu saya dan ibu saya tinggal berdua di rumah kost sedangkan ayah saya tinggal di asrama. Mereka berdua bertemu hanya seminggu sekali. Biasanya kami habiskan weekend ayah ke tempat wisata di Kota Bandung.

      Memori saya tidak terlalu jelas dengan kota ini, karena jangka waktu tinggalnya nya yang hanya sebentar. Saya hanya ingat bahwa ibu suka mengajak saya menjenguk ayah di asrama pada saat weekend, dan sisanya saya hanya menonton TV atau main robot-robotan di dalam kamar kost. Kasian ya, tapi sekarang saya sadar pengorbanan ibu yang luar biasa tangguh. Bayangkan, dari memiliki rumah besar dan tanah luas di Samarinda, sampe akhirnya harus mengikhlaskan itu semua demi karier ayah di perusahaannya. Ya ibu saya rela tinggal di kamar kost kecil dan tidak melakukan apa-apa.

       Dari Bandung kami berpindah ke Solo, penempatan pertama ayah saya. Oh iya, pendidikan yang diambil ayah saya mengharuskan dia dinas berpindah-pindah kota. Dan di Solo lah semua berawal. Kota ini juga tidak memiliki banyak porsi dalam ingatan saya. Saya hanya ingat bahwa disini ayah saya punya banyak teman, dan mereka semua sangat solid. Bahkan kami sering bepergian keluar kota bersama-sama, dan tentu saja saya menjadi pusat perhatian karena...nggak tahu ya. Orang-orang gemes aja gitu ngeliat saya. Mungkin rasanya mereka mau nampol saya kali ya. Tapi nggak enak sama kedua orang tua saya, jadi ya sok baik aja gitu. Hahahaha, kesian lah orang udah tulus tapi tetep dinyinyirin.

        Saking sebentarnya di Solo, bahkan saya sampe tidak ingat waktu itu saya tinggal dimana. Bisa jadi di kolong jembatan atau gorong-gorong. Yaah kalo gitu pantes aja kulit saya jadi legam gini. Syedih.

         Nah, dari jawa tengah kami bertiga pindah ke Jawa Timur, yaitu kota Kediri. Kayaknya ini kota penempatan pertama ayah saya yang lumayan lama deh. Soalnya kakak saya yang udah lama diungsikan akhirnya di tarik kembali untuk tinggal bersama kami. Yaah bisa dipastikan kondisi mereka sangat subur waktu itu. Ya gimana nggak, mereka kan tinggalnya sama nenek saya. Mau apa aja diturutin daripada kabur dari rumah kan. Maklum jaman itu mereka lagi puber-pubernya. Yang satu udah SMA yang satu SMP. Yup, jarak umur kami memang jauh. Waktu di Kediri saya belum sekolah. Jadi ya sudah pasti dong, saya sering jadi objek bully an mereka. Dari mulai dibuat nangis hampir setiap harinya, sampe aksi jambak-jambakan sama kakak perempuan saya. Normal kan kalo anak laki jambak-jambakan sama kakak perempuannya? Iya dong. Udaaaaah iya in aja, susah amat sih.

       Di Kediri saya tinggal di rumah tua yang katanya sih angker. Tapi nggak tahu ya, kata orang sih begitu. Besar sih, pohon mangga ada 2, pohon jambu ada 5, pohon bunga kamboja ada satu, melati, kantil, terompet, banyak taneman dah. Kamar pembantu terpisah dari bangunan utama, patung dimana-mana, mmmm kok malah terdengar makin angker ya. Hahaha.

       Masa kecil saya begitu bahagia di kota kecil ini. Kediri adalah masa kecil bahagia saya. Main di kebon, mencari ketela untuk di bakar, main layang-layang, eh sorry maksud saya ngeliat orang main layang-layang. Ngeliat orang main kelereng. Ngeliat orang main burung dara. Ngeliat doang mas? Nggak ikut main? Yaaa elah, cemen ya. Tapi itulah saya, soalnya kalo pulang dalam keadaan kotor pasti ada sapu atau minimal cubitan kecil bersarang di tubuh saya. Makanya saya memilih jadi penonton aja. Mamaaaa, apa yang telah kau perbuat pada diriku ini. Hmmmm. Nggak heran kan?

      Dari Kediri masa kecil saya berlanjut ke kota yang lebih kecil bernama Probolinggo.
Ya kota ini begitu kecil namun sangat damai. Disini ada banyak sekali bangunan tua bekas penjajahan Belanda. Keluarga saya tinggal di salah satu bangunan itu. Ini jauh lebih besar daripada rumah kami di Kediri. Pohon mangga besar ada 5 kali, belom tumbuhan yang lain, bahkan dulu ayah saya sempat memelihara sepasang kalkun, 10 ekor kelinci, 5 ekor ayam bangkok, dan sekolam penuh ikan mujair. Macem fancy banget kan hidup saya, tapi ya itu, jadinya saya nggak punya banyak teman disini.

     Probolinggo memang sangat nyaman, dan kota ini dekat dengan daerah asal ibu saya. Jadi hampir setiap weekend kami akan berkunjung ke rumah keluarga besar ibu saya. Iya, rumah nenek saya yang sempat menjadi tempat pengungsian kedua kakak saya. Berangkat sabtu sore sepulang saya dan kakak perempuan saya dari sekolah, dan pulang hari senin subuh sekalian mengantarkan saya dan kakak saya ke sekolah. Memang ayah saya sukanya begitu. Nggak asyik kalo nggak semua anggota keluarga ikut bersamanya. Waaah bahkan saya menuliskannya sambil berkaca-kaca. Drama ya.

     Kehidupan fancy kami pun harus berakhir karena ayah saya harus dipindahkan ke pulau lain. Ya kami berlayar selama 3 hari 2 malam, terombang-ambing di lautan jawa menuju pulau Sulawesi. Kota Makassar adalah penempatan dinas ayah saya yang berikutnya. Disini lah saya mulai jatuh cinta kepada pantai. Setiap minggu saya pergi berenang ke Pantai. Jam 10,11, 12 siang pun nggak jadi masalah, yang penting saya bisa berenang ala Deni manusia ikan. Kulit terbakar dan mengelupas sudah menjadi hal yang biasa bagi saya. Kayaknya ini deh awal mula kulit saya menjadi legam seperti sekarang. Tapi saya menyukai warna kulit saya, asli. Hahahaha.

     Ya itu tadi sederetan kota yang pernah saya tinggali selama hidup saya. Jadi kalo ada yang bertanya, apa nggak kangen Bali? Heiiii, Bali bukan satu-satunya pulau di luar Jawa yang pernah saya tinggali. Bali hanyalah salah satunya. Jadi ya sebenarnya dia nggak sespesial itu. Jadi nggak yang nangis or sedih karena rindu Bali. Lebay amat. Kalo kangen ya pasti dong, sama kadar nya kayak saya kangen rumah fancy di Probolinggo, masa kecil bahagia di Kediri, teman-teman ayah saya yang menyukai saya di Bandung dan Solo, serta Semarang dan isinya. Semua indah karena mereka adalah masa lalu untuk dikenang. Saya merindukannya karena itu tidak akan pernah terjadi lagi dalam kehidupan saya.

    Sekarang ya sekarang, Surabaya dan rasisme terselubung di dalamnya. Rasis? Yaph, di blog selanjutnya saya jabarkan deh dengan apa yang saya maksud. Sampai berjumpa di tulisan saya yang berikutnya. Semoga yang membaca mendapatkan manfaat dari blog nggak bermanfaat ini. Selamat weekend. Tabi'!?