Friday 23 October 2015

Sekompi Peri Cinta #1

    Selamat malam wahai penikmat libur sabtu minggu yang menyenangkan. Sebenarnya ini sudah terlalu larut malam menjelang pagi dan entah kenapa saya semakin tidak bisa tidur cepat. Yah seperti over thinking akan sesuatu hal yang absurd. Mungkin sudah saatnya saya memiliki pasangan kali ya. Hahahaha, kesian amat, siapa juga yang mau. Ada sih yang mau, tapi cowok, deileh ngenes abis nasib ane gan. Sundul gaaan.
    Malam ini saya mau membicarakan sedikit, emmm banyak deh tentang cinta. Yah sebenarnya walaupun sepi dalam kisah percintaan, ehh bacanya biasa aja jangan sambil nahan ketawa gitu, tapi banyak orang yang mempercayakan kisah cintanya kepada saya. Kalau kata temen saya sih, saya itu tipe pendengar yang baik, karena saya bukan tipe orang sok tahu yang akan memberikan saran ini itu. Ya, saya hampir tidak pernah mengomentari curhatan teman-teman saya kecuali diminta. Mereka nggak tahu aja kalo saya sebenarnya nggak pernah menyimak cerita mereka. Yeee kasian.


   
    Kisah pertama adalah tentang cerita seorang wanita yang sangat mencintai seniornya di kampus. Cerita yang epik, begitu mainstream dan full of drama. Namun kalau cerita itu kemudian dikejutkan dengan kehadiran seorang pria lain pasti nggak jadi mainstream dong ya. Masih mainstream juga? Pria tersebut memiliki hubungan khusus dengan senior si wanita di kampus. Yang mana adalah seorang pria juga. So, this is like an awkward triangle love. And let me begin this story.
    Saya adalah seorang mahasiswa jurusan seni yang bisa di bilang jarang ke kampus. Sebagian besar waktu, saya habiskan di rumah dan di cafe ber-wifi kencang. Yah tugas yang begitu banyak dan menumpuk membuat saya harus selalu setia dengan pensil, kuas, dan internet. Saya pergi ke kampus hanya untuk mengumpulkan tugas lalu sedikit ramah tamah dengan manusia-manusia kampus dan sisanya kembali ke rumah untuk menyelesaikan tugas yang lainnya.
    Begitu pun hari itu. Saya sedang berkutat dengan pensil saya ketika tiba-tiba nada pesan masuk berbunyi dari ponsel saya. Saya tidak menghiraukannya dan masih asyik dengan sketsa bangunan yang saya buat. Namun nada tersebut berbunyi berkali-kali seakan ada berita penting yang sangat mendesak. Hal itu membuat konsentrasi saya menjadi menurun. Daripada sketsa bangunan saya malah menjadi sketsa tubuh wanita akhirnya saya putuskan untuk beristirahat sejenak.
     Saya meraih ponsel saya yang tergeletak di atas kasur. Dengan penuh rasa penasaran saya pun segera mengecek beberapa pesan yang masuk. "Brian? Heboh banget BBm nya." Saya pun merebahkan diri ke kasur dengan mata tetap tertuju pada layar ponsel. Saya mengambil posisi senyaman mungkin untuk mencerna setiap kata yang Brian tuliskan di dalam pesan nya.
     Di dalam pesan itu Brian menanyakan sesuatu yang tidak biasanya. Ia menanyakan tentang sebuah buku dengan judul yang sedikit rancu, 'Lelaki Terindah'. Dari judulnya saya sebenarnya sudah menduga-duga tentang apa yang ada di dalam buku itu, namun saya pendam perasaan sok tahu itu dan menanyakan tentang maksud Brian menanyakan buku tersebut kepada saya.
    Saya memang dikarunia gerak gerik yang feminim dan memiliki perhatian lembut yang tdak sewajarnya dimiliki seorang pria. Hal ini membuat banyak orang memiliki persepsi yang keliru tentang diri saya. Ya sebagian besar dari mereka mengira saya adalah seorang Gay atau penyuka sesama. Hal yang tidak serta merta saya tampik dengan emosi karena saya tidak perlu menjelaskan apa-apa kepada semua orang yang mendeskreditkan orientasi seksual saya. Saya memilih diam dan tersenyum dan membiarkan mereka tenggelam pada tanda tanya besar yang sebenarnya tidak ada manfaatnya juga bagi mereka.
    Hal itu berlaku kepada Brian, dia adalah orang yang saya kenal di kampus. Namun kami tidak berasal dari jurusan yang sama. Saya mengenalnya dari acara kampus yang pernah kami ikuti bersama. Pesan yang saya kirimkan dengan tanggap dibalas oleh Brian dalam hitungan detik. Ia juga enggan menceritakan isi dari buku tersebut. Alih-alih menceritakan isi dari buku itu, ia malah menyuruh saya untuk mencari tahu sendiri di internet.
    Rasa penasaran membawa saya beranjak dari posisi nyaman saya dan berpindah duduk di depan laptop pribadi saya. Ketika saya mengetikkan tulisan 'Lelaki Terindah' pada search engine, saya memastikan bahwa lingkungan sekitar aman. Tidak ada anggota keluarga saya yang mungkin masuk secara tiba-tiba ke dalam kamar saya. Kening saya tiba-tiba mengernyit ketika melihat gambar-gambar pria tanpa busana yang muncul di laptop saya. Dengan segera saya membalas pesan dari Brian dan menanyakan apa maksud sesungguhnya darinya.
    Seketika itu Brian menceritakan sebuah hal yang tidak saya duga sebelumnya. Cerita tentang orang yang kami kenal. Levi, seorang pria yang akhir-akhir ini dekat dengan Brian. Saya mengenal mereka berdua, bahkan saya lebih mengenal Levi daripada Brian. Levi sering menemani saya dalam membuat tugas-tugas kampus saya yang tidak pernah ada habisnya. Brian menulis beberapa hal yang membuatnya curiga kepada Levi. Ia mencurigai bahwa Levi adalah seorang gay. Hal yang saya tanggapi dengan sangat serius.
    Dari Brian lah saya baru tahu bahwa Levi selama ini menyukai laki-laki. Dan dari Brian lah saya juga tahu bahwa selama ini Levi berbohong tentang destinasi kunjungannya ke Jakarta. Levi memiliki seorang 'sponsor' di Jakarta. Hal yang sengaja saya perhalus karena saya tidak menyangka bahwa Levi sanggup melakukan hal ini.
   Saya tidak pernah beranggapan bahwa Levi itu salah atau keliru. Dan saya tidak pernah menyudutkan Levi hanya karena saya mengetahui tentang rahasianya. Justru cerita dari Brian membuat saya bersimpatik kepada Levi. Bagaimana dia bisa bertahan dari guncangan emosi yang pasti ia rasakan. Tanpa ada seorang pun yang bisa diajak sharing ataupun berkeluh kesah tentang kisah cintanya.
   Brian menceritakan banyak hal yang membuatnya curiga tentang seorang Levi. Dan cerita-cerita itu justru membuat saya semakin bersimpatik kepadanya. Pada saat Brian lancar bercerita tentang Levi, sebenarnya saya justru menaruh curiga kepada Brian. Apa tujuannya Brian menceritakan semua ini kepada saya. Apa untungnya bagi saya? Dan satu lagi, jika Brian sudah lama mencurigai Levi sejak dulu, lalu lantas kenapa Brian masih intens bergaul dengan Levi. Jika ia laki-laki normal, pasti ia akan menjauh dari Levi atau bahkan menghilang dari kehidupan Levi. Hal yang sampai saat ini masih menjadi misteri.

   Brian bukanlah teman yang langganan mencurahkan isi hatinya kepada saya. Ia hanya datang sesaat untuk memberitahu dugaannya terhadap Levi. Namun tentu saja hal itu tidak membuat saya lantas menjauhi Levi. Sedikit banyak saya juga seperti Levi. Dicurigai banyak orang sebagai orang yang memiliki orientasi seksual yang menyimpang atau bahasa kasarnya tidak normal. Sehingga saya berkesimpulan bahwa menjauhi Levi tidak akan ada manfaatnya.
    Carla adalah salah satu teman wanita saya yang hobi sekali membagi cerita kesehariannya. Dan sebagian besar ceritanya adalah mengenai Brian. Seniornya di kampus. Carla sudah lama tertarik dengan Brian dan merasa bahwa Brian pun juga tertarik padanya. Namun sifat Brian yang dingin dan cuek membuat hubungan mereka berdua stuck. Hanya sebagai teman nongkrong, teman bepergian, dan teman jika ada perlu. Carla terlalu takut untuk mengungkapkan isi hatinya kepada Brian. Sedangkan Brian, terlalu tinggi untuk melamar Carla menjadi pacarnya.
    Brian tidak pernah bercerita mengenai wanita kepada saya. Yang ia ceritakan melulu mengenai Levi. Hal yang membuat saya semakin curiga. Saat ini Brian dan Levi seperti dua sisi koin. Saling bertolak belakang dan tidak pernah bertemu. Padahal seingat saya dulu, mereka banyak menghabiskan waktu berdua. Bermain games bersama atau saling menumpang tidur dan makan di rumah masing-masing. Hal yang menurut saya wajar karena hampir semua laki-laki memiliki buddies, teman baik yang dibawa sampai mati.
    Hari ini Carla berbeda, ia menceritakan versinya tentang Levi kepada saya. Ya kami semua mengenal Levi, namun tidak seterbuka saya. Carla tidak mengetahui mengenai dugaan saya dan Brian mengenai orientasi seks Levi. Setidaknya tidak sekarang. Carla mengeluhkan tentang ketidakakuran Levi dan Brian. Mereka bertiga memiliki ketertarikan yang sama terhadap musik, hal yang membuat mereka banyak menghabiskan waktu bersama. Namun sekarang Carla harus rela bersolo karier, menghabiskan waktunya hanya dengan saya, karena entah kenapa Brian dan Levi akhir-akhir ini jarang bisa diajak bertemu.
    "Sis, gimana nih, aku kangen banget sama Brian." Carla memiliki cairan diotak yang berlebih sehingga dengan lantang ia memanggil saya dengan sebutan sis hampir di setiap kesempatan. Hal yang membuat saya risih sebenarnya namun karena sudah terbiasa jadinya saya tidak begitu mempermasalahkannya lagi. "Memang kenapa sama kalian? Ada masalah?" Saya mencoba menjadi penetral suasana. Setidaknya menetralkan suasana hati Carla yang terlalu sering merengek tentang segala sesuatunya. "Nggak, tapi aku jadi jarang ketemu sama Brian. Levi aku BBm juga jarang bales." Ya tidak salah lagi. Sedang terjadi sebuah perselisihan antara Levi dan Brian. Saya tidak tahu apa penyebabnya, namun jika boleh saya berhipotesa ria pasti penyebabnya adalah adanya orang ketiga. Ya orang ketiga antara Levi dan Brian tentunya. Bisa jadi 'sponsor' yang dimiliki Brian, bisa jadi juga adanya Carla diantara hubungan terselubung mereka.

    Suatu waktu saya pernah menanyakan kepada Brian tentang hubungan mereka berdua. Berdua dengan Levi maksud saya. Sebuah pertanyaan serius yang saya tanyakan dengan iseng. "Bri, ada alasan khusus kenapa kamu bisa sedekat itu sama Levi. Padahal kamu tahu dia bisa saja suka sama kamu." Sebuah pertanyaan menyelidik yang tidak bisa ditampik oleh Brian. Dia lah yang memulai babak baru perseteruan dengan Levi, dan dia memilih saya sebagai perantaranya. "Aku kasihan melihat Levi, dan aku harus bisa membuat dia normal." Sebenarnya ini adalah alasan klise bagi orang-orang yang secara tidak sadar tertarik dengan sesama jenis. Selalu mengatasnamakan simpatik dan ingin mengembalikannya menjadi normal. Orientasi seksual bukanlah sebuah besi bengkok yang bisa diluruskan dengan berbagai macam cara. Banyak hal yang mempengaruhi orientasi seksual seseorang. Salah satunya adalah pengalaman di masa kecil. Hal-hal apa saja yang telah seseorang lalui dimasa kecilnya. Hal itu sangat berpengaruh terhadap watak dan sifat seseorang di masa mendatang.
     Brian hanya asal bicara. Ia mencoba mencari pembenaran atas apa yang ia lakukan selama ini. Sebenarnya membongkar rahasia Levi sama juga bunuh diri baginya. Karena manusia-manusia kritis seperti saya tidak akan berhenti pada satu jawaban menggantung. Saya bisa menemukan jawaban yang memuaskan rasa penasaran saya sendiri. Ya sendiri dengan berbagai macam cara.

    "Lev, Carla dan Brian sepertinya makin dekat ya. Bagaimana jika seumpamanya mereka jadian. Pasti lucu ya." Saya mengatakan hal tersebut di satu kesempatan ketika bertemu dengan Levi. "Iya, kadang aku ngerasa diperalat selama ini." Levi berdiri disebelah saya. Kemejanya yang putih membuat sinar matahari di pagi itu semakin silau. "Diperalat?" saya membalikkan badan melihat mata Levi yang menerawang jauh menembus pepohonan di sekitar villa. "Ya, hanya agar mereka bisa jalan berdua. Carla tahu kalau Brian akan ikut kemanapun aku pergi. Jadi Carla mengajakku terlebih dahulu." Levi tersenyum simpul. Saya membuang pandangan jauh mengikuti arah pandangan mata Levi. "Carla tidak pernah mengajak Brian langsung?" Levi menggeleng dan menjauhi teras villa yang sedang kami tempati. "Lalu jika mereka jadian?" Saya masih bersikeras menanyakan hal yang sama. "Selamat bagi mereka berdua." Levi benar-benar pergi menjauh. Saya hanya bisa melihat punggung nya yang lebar tenggelam di balik korden pintu kaca berwarna putih.
    Inilah yang sebenarnya dirasakan Levi. Ia dekat dengan Brian bukan tanpa alasan. Levi tertarik pada Brian secara seksual dan emosional. Namun Brian tidak terima jika Levi masih tinggal di dunia gelapnya dan berhubungan dengan sponsor nya tersebut. Sedangkan Brian tidak memberi pilihan untuk Levi menyalurkan hasratnya kepada Brian, sehingga Levi tidak pernah mengindahkan saran yang selalu diberikan oleh Brian. Tabrakan, yah terjadi tabrakan emosional diantara mereka berdua. Dan aksi Brian waktu itu hanyalah ungkapan dari kekesalannya pada Levi. Man can be comfort with another man, but not in love with another man because they're not suppose to be live happily together ever after.
                                                                       ..................