Sunday 18 June 2017

Investasi Jangka Panjang Lebar

  "Surabaya kan panas."
  "Ngapain sih pindah ke Surabaya? Disana lho nggak ada apa-apa."
  "Udah deh nggak usah lagi nyari cewek-cewek, sekarang kan udah di Surabaya, cari lah kokoh-             kokoh kaya yang bisa ngasih lo duit. Jadi nggak usah kerja lagi."
  "Orang udah bener-bener tinggal di Bali, pake pindah ke jawa lagi. Ntar kangen lho."

    Sebagian besar itu adalah komentar orang-orang di sekitar saya ketika mereka tahu bahwa saya memutuskan untuk pindah ke kota besar bernama Surabaya. Ya emang sih komentar mereka ada benernya juga. Kecuali komentar tentang kokoh-kokoh lho ya. Tapi sesungguhnya ya, kota ini asyik-asyik aja kok.

    Tanpa terasa saya udah sebulan aja di kota ini. Ya walau belum sempet kemana-mana tapi saya ngerasa refresh aja. Bertemu orang-orang baru, ngulik-ngulik lagi ekosistem pertemanan, nyari tempat nongkrong yang seru. Ya semacam itu lah. Belum banyak sih hasil pencarian saya, ini dikarenakan masih bulan puasa, jadi mager mau kemana-mana. Ya eeelaaaah, kayak puasa aja bung.

    Kalau dibilang rindu pantai, ya rindu banget lah, gila apa. Ngeliat ombak tuh kayak nerawang kehidupan tau. Nih ya, saya kasih tau imajinasi saya ketika melihat pantai. Warna biru itu adalah warna yang tenang, terkesan damai, dan adem. Ketika melihat ke laut luas nggak berujung, disanalah saya melihat hidup, nggak ada ujungnya. Kematian bukan ujung, ada yang bilang malah itu justru permulaannya. Apalagi bagi mereka yang percaya akan adanya kehidupan setelah kematian. Jadi sebenarnya kita bak berada dalam sebuah bahtera ditengah lautan lepas. Terombang-ambing.

     Kalau mau dilanjutin sih bakal panjang pembahasannya. Ntar nyambungnya kearah agama dan keimanan. Serem ah, apalagi di jaman sekarang, Indonesia saat ini, sensitif kalo mau ngomongin agama. Pokoknya, terimakasih deh untuk leluhur saya yang mungkin dulu penganut animisme dan dinamisme, yang hidup dengan baik dan menjadi manusia yang memanusiakan manusia sehingga anak keturunannya sampai saya pun mendapat manfaatnya. Ya hidup dengan berkah, rejeki, dan jauh dari kesukaran hidup menurut saya pribadi adalah investasi dari leluhur kita. Jadi kenapa kita harus hidup dengan baik, bijaksana, mawas diri, dan selayaknya manusia? Ya karena kita mau melakukan investasi serupa untuk anak cucu kita kelak. Tuh kan, cuma bahas bagian ini aja udah panjang. Hmmmm. Belum lagi kalo mau bahas masalah percin....ah sudahlah.

     Lanjut ya, dari warna biru kita pasti lihat yang namanya ombak. Ombak adalah gelombang air, ya iyalaaah, kalo gelombang cinta nama taneman kali bang. Ya pokoknya gitulah, itu tuh kayak emosi kalo dalam imajinasi saya. Hmmm ketika melihat ombak kadang saya akan merasa tenang jika ombaknya emang tenang, namun ketika ombaknya membesar emosi saya pun ikut hanyut di dalamnya. Pikiran saya melayang pada masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan saya. Kadang juga masalah orang sih, maklum lah ya, biang gosip ya begini ini, nggak bisa kalo nggak ngurusin masalah orang. Sok hero mau ikut campur gitu. Hasilnya malah akan memeperumit masalah, Ya nggak yaaa. Auk dah ya.

    Tapi ini asli loh, emosi itu kayak ombak. Kadang tenang, ntar tau-tau gede, lalu tenang lagi. Labil sih ya, kayak ABG. Tapi semua ombak akan pecah pada waktunya. Semua emosi akan bersatu dan membuat kita kembali tenang lagi hingga menyentuh ke bibir pantai. Emosi itu indah, apalagi jika kita bisa mengendalikannya. Tiba-tiba ingin jadi anaknya Dewa Zeus deh, bisa ngendaliin lautan. Bisa buat rumah bordir di bawah laut. Kayaknya potensial deh. Hmmm, hahahaha. Pekerja seks nya ikan julung-julung. Maigats!?

    Jadi ya itu, kalo di pantai sebenernya saya nggak perlu partner. Karena saya akan asik dengan dunia saya sendiri. Eaaa lalu galau pengen balik ke Bali. Hahahaha. Nggak ding, disini juga ada pantai tauuu. Iya di Surabaya. Nggak biru sih airnya, lebih ke cokelat semburat item, ya tapi namanya masih pantai. Pengertiannya sama kan, cuma kondisinya yang berbeda. Kalo airnya dimasukin ke gelas terus kasih sedotan bakal keliatan kayak es coffemix deh kayaknya. Hahahahaha.

   Tinggal di Bali itu nyaman. Ya emang senyaman itu. But well, saya adalah seorang life-adventurer. Ngaco sih sebutannya. Tapi kenyamanan menurut saya akan membuat saya berhenti berkembang. Stuck. Mandeg. Stop. Lupa akan tujuan hidup. Jadi dengan berat hati saya ucapkan selamat tinggal pulau Bali atau mungkin sampai jumpa di lain kesempatan. Yah, apa pun itu yang terpenting adalah saya masih tetap menjadi diri saya. Hidup bisa berubah, tapi kita sebagai manusia harus tetap menjadi seyogyanya manusia. Jangan pinter agama sedikit lalu berubah jadi nabi, no no no, ingatlah bahwa cara hidup kita di dunia ini adalah investasi atas apa yang akan terjadi pada kehidupan anak cucu kita kelak. Jangan heran jika keturunan mu mengalami banyak kesusahan kelak. bercerminlah atas apa yang telah kamu lakukan di dalam hidupmu selama ini. Tuhan tidak pernah luput, tidak pernah tidur, tidak pernah lupa.


    Udah ah, mata mengantuk, kita sambung di lain kesempatan. Itu juga kalo masih mau baca sih. hahahaha. Bye jerawat. Tabi'!?